Gelombang Damai di Sudut Pulau Banda Neira
"Menetap di sini, sepertinya bukan pilihan yang buruk kan, Nan?" kata seseorang dengan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya.
"Tidak buruk untukmu, tetapi cukup buruk untuk Bunda mu, Askala," sanggah seorang gadis berkerudung cokelat muda. "Hidup sendirian di masa tua adalah kesepian yang paling jahat untuk ukuran manusia."
"Aku tau itu, Anandisa."
Hamparan air yang sangat jernih di depan mereka benar-benar memanjakan mata. Warna birunya seolah mengajak siapapun yang berada di sana untuk jatuh cinta. Jatuh cinta pada Pulau cantik bernama Banda Neira.
Mereka sedang menghabiskan waktu libur pergantian tahun di sana. Sebuah Pulau yang begitu dimimpikan Anandisa. Anak perempuan pertama yang selalu memiliki batasan untuk melakukan banyak hal di bumi. Namun kali ini, Askala berhasil melepaskan rantai yang melingkar di kedua kakinya. Hingga akhirnya, mereka bisa sampai di sana.
Lagu Banda Neira mengiringi perbincangan hangat mereka bersama langit jingga yang baru saja menampakkan diri beberapa detik yang lalu.
"Kamu tahu, Nan, satu ketakutan Bunda pada anak laki-lakinya?" ujar Askala, memecah keheningan yang sempat hadir di antara mereka.
"Meski aku sudah lama mengenalnya, bukan berarti aku tahu semua tentang Bunda, Kal," jawab Anandisa. "Memangnya apa?"
Sembari membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman, Askala bersiap untuk memberi tahu satu rahasia dalam hidupnya pada sahabat perempuannya itu. "Bunda takut, aku memilih untuk sendiri seumur hidup."
Mendengar ucapan Askala membuat Anandisa sontak mengalihkan pandangannya ke samping. Menatap dengan sorot penuh intimidasi kedua mata laki-laki di sebelahnya tersebut. "You're seriously?"
Askala mengangguk pelan.
"Apa alasanmu, Kal?"
"Entahlah. Rasanya, selain Bunda tidak ada perempuan yang bisa ku percaya sepenuhnya. Terlalu banyak rasa khawatir untuk memulai, Nan. Bukankah lebih baik jika aku merawat diriku sendiri?" Jelas laki-laki bertubuh jangkung itu.
Anandisa menggapai bahu Askala sembari tersenyum tipis. Ada sepotong kekuatan yang Ia bagikan lewat usapan di bahunya tersebut. "Aku paham apa yang kamu rasakan. Tapi aku juga merasakan ketakutan milik Bunda mu, Kal."
Askala terkekeh pelan. "Lantas, bagaimana dengan mu, Nan? Kenapa sampai sekarang, belum ada juga laki-laki yang kamu ceritakan padaku?"
Gadis itu kembali memfokuskan pandangannya ke arah matahari yang sebentar lagi akan tenggelam di depan sana. "Hidupku terlalu datar untuk diisi dengan tragedi jatuh cinta, Kal." Hembusan nafas berat terdengar setelahnya. "Aku pikir, rasanya pasti tidak jauh berbeda meski nanti aku tidak sendirian lagi. Tetap saja akan ada hambar dan bosan."
Askala terkekeh sekali lagi. Kali ini, entah apa yang membuatnya bereaksi seperti demikian. Memang ada kalimat jenaka yang Anandisa paparkan? Sepertinya tidak. Ah, laki-laki berdarah blasteran itu memang selera humornya sangat rendah.
"Nan, bukan hidupmu yang terlalu datar. Melainkan sikapmu yang kelewat santai dalam menghadapi apa saja yang datang ke hidupmu. Badai yang ada di depanmu saja hanya kamu beri sapaan senyum. Seharusnya beri sedikit berisik dalam kepala mu. Supaya memenuhi syarat menjadi manusia normal, Nan. Kalau gini, kamu masuk daftar spesies langka di bumi. Harus dilindungi," celoteh Askala diakhiri dengan tawa renyah khasnya.
Anandisa ikut tertawa beberapa saat. Dan benar. Ia baru menyadari sekarang. Ternyata bukan hidupnya yang terlalu datar. Akan tetapi dirinya yang terlalu mati rasa terhadap badai dan gelombang yang ada dalam lingkaran semestanya.
"Apa rahasianya, Nan? Aku juga mau jadi spesies langka itu."
"Apa? Tidak ada." Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Aku hanya berusaha menikmati apa saja yang datang. Kalau keadaan sedang menuntut ku untuk menguras air mata, aku pasti melakukannya dengan sekadarnya saja. Begitu juga sebaliknya. Ketika senang berada dalam pelukanku, aku akan menggenggam rasa itu secukupnya. Agar saat harus ku lepas lagi, tidak ada kecewa yang begitu besar."
"Ada lagi?"
"Ya... Aku juga merasa aku punya backingan yang sempurna. Mengapa aku harus mengkhawatirkan banyak hal?" lanjut Anandisa kemudian.
"Siapa?"
"Tuhan, Kal."
Sebentar lagi, langit jingga akan selesai mengekpresikan diri. Anandisa segera merapatkan jaket kulit yang Askala berikan padanya tadi. Udara di sana sangat sejuk dan mendamaikan. Pantas saja, perbincangan mereka—sejak memilih mendudukkan diri bersebelahan di ujung jembatan kayu yang membawa mereka berada pada sepertiga dari bagian hamparan air biru tersebut—terasa hangat dan penuh kesan mendalam.
Suasana di Banda Neira begitu pas untuk deeptalk bersama seseorang yang mungkin kita anggap penting dan memang perlu. Seperti sepasang sahabat itu. Askala dan Anandisa. Kalau di luar pulau cantik tersebut, mereka akan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bertengkar dan bercanda. Hanya sedikit waktu yang membawa mereka pada keadaan yang serius. Dan benar bukan, sedekat-dekatnya mereka tetap saja ada beberapa hal yang masih tidak diketahui satu sama lain.
Terkadang, kita memang perlu untuk jadi dewasa seutuhnya. Agar beberapa ragu punya pastinya. Agar beberapa yang tersembunyi punya celah untuk dipaparkan dengan apa adanya. Karena menjadi manusia, 'dekat' saja tidak cukup untuk sebuah pemahaman yang letaknya tidak terlihat.
"Aku lupa mengucapkan 'terima kasih', Kal. Terima kasih karena sudah bersedia membawaku ke tempat ini. Mendengarkan lagu Banda Neira langsung di tempatnya adalah impian banyak orang. Dan kamu telah membuatnya jadi nyata untuk perempuan biasa sepertiku." Kali ini, suara penuh tenang milik Anandisa yang berhasil memecah keheningan yang sempat terjadi di antara mereka.
"Cukup bayar dengan senyuman, Nan," jawab Askala sembari tersenyum tipis.
Persahabatan mereka sejak masih berumur jagung, membuahkan sebuah hubungan yang jauh lebih erat daripada sepasang kekasih yang kebetulan berada di satu tempat yang sama dengan mereka. Berkali-kali ada perdebatan di antara mereka dan sama sekali tidak ada yang mau mengalah.
Menyaksikan hal yang sama, Askala mengatakan sesuatu: "Lihat kan, Nan. Ada yang sudah memastikan hubungan, tetapi masih lupa menyertakan egonya."
"Mereka hanya butuh waktu untuk saling mengerti, bukan?" ujar Anandisa setelah melakukan sedikit analisanya.
"Ya. Tapi jangan lupakan satu hal; bahwa nggak semua orang mau meluaskan hati untuk memberi pengertiannya. Karena percaya atau tidak, dalam sebuah hubungan 'cinta' saja nggak cukup, Nan. Manusia itu dinamis. Perasaannya mudah berubah-ubah. Pemahaman dari hati ke hati itu yang paling penting. Supaya apa kesannya bisa sampai ke tempat yang seharusnya." Askala memberikan pengertian yang cukup panjang pada Anandisa. Seolah, Ia sedang menyampaikan bentuk 'khawatir" miliknya pada gadis itu. Tentang siapa yang akan jadi pasangannya nanti. Apa Dia akan memiliki pengertian yang sama seperti dirinya terhadap Anandisa. Apa Dia akan memiliki keberanian untuk melepaskan rantai yang mengikat tubuh gadis itu. Dan masih banyak lagi.
Anandisa tertegun mendengar kalimat yang terjabarkan dengan begitu tulus dari mulut laki-laki itu. "Aku rasa, kamu sudah memiliki bekal yang cukup untuk memulai sebuah hubungan, Kal."
"Cukup belum tentu siap, Nan."
Gadis itu mengangguk tanda mengerti. Ia sadar, bahwa beberapa hal memang tidak bisa dipaksakan. Karena setiap dari manusia memiliki ukurannya yang berbeda-beda.
"Kira-kira setelah ini, kapan kita bisa kesini lagi, Kal? Pulau Banda Neira sangat mengagumkan untuk dikunjungi berkali-kali, bukan?" ujar sang gadis.
Askala mengangguk setuju. "Ya. Kapan saja, pada kesempatan paling baik yang Tuhan kasih."
"Aku percaya keajaiban, Kal. Dan entah mengapa, aku berpikir bahwa pada kunjungan berikutnya, bisa saja kita datang ke tempat ini dengan pasangan masing-masing. Atau...."
"Atau apa?" tanya Askala penasaran.
"Ah, tidak. Aku rasa yang satu ini terlalu berlebihan untuk ukuran harapan manusia. Lebih baik aku simpan saja," jawab Anandisa.
"Masih saja jadi gadis aneh," celetuk Askala sembari memukul pelan kepala gadis itu.
Berakhir dengan tawa bersama di bawah langit gelap dengan beberapa buah bintang yang berdatangan. Mereka kembali pada fokus masing-masing. Bukit yang menjulang tinggi di depan sana menjadi obyek lain yang mereka nikmati. Selama beberapa menit, tidak ada percakapan yang berlangsung. Lagu Banda Neira masih hangat mengiringi kebersamaan mereka. Satu earphone untuk berdua, rasanya cukup untuk membuat dua manusia berada pada dimensi yang tak berjarak.
"Kal...." panggil Anandisa dengan suara lirih.
"Hm?"
"Bagaimana jika pada akhirnya, beberapa orang memilih untuk tidak mencintai siapapun dalam hidupnya?"
Kalimat tersebut berhasil membuat Askala terdiam beberapa saat. Ia memilih menyeruput sisa kopi dalam gelasnya sembari memikirkan sesuatu dalam kepalanya.
"Sama saja kamu akan berakhir sendirian kalau seperti itu, Nan. Katamu, kesepian paling jahat adalah sendirian di masa tua?" Askala mengingat perkataan milik Anandisa sewaktu pertama kali mereka berbincang di tempat tersebut.
"Kan ada kamu, Kal. Kita bersahabat saja sampai tua, bagaimana?"
"Aku juga maunya gitu. Tapi, alur cerita manusia nggak ada yang berakhir terikat dalam masing-masing, Nan."
Kali ini berganti Anandisa yang terdiam dalam rasa bimbang. Benar sekali. Alur paling rumit di semesta ini adalah bagian pada perjalanan sepasang manusia yang akhirnya jadi sama-sama atau masing-masing saja. Tidak ada sejarah yang mengatakan bahwa hidup menawarkan hubungan yang tak satu, namun ingin jadi erat dalam abadi.
Kadangkala, harapan manusia terlampau jauh dari kenyataan yang tersedia. Beberapa dari mereka memilih menjadi seperti yang mereka mau, tanpa mempertimbangkan realita yang sudah digambarkan dengan sedemikian rupa.
"Jatuh cinta rumit sekali, ya? Maka dari itu, aku belum berminat untuk mengolah perasaan sejauh ini," kata Anandisa dengan wajah datar.
"Sebenarnya, jatuh cinta itu indah, Nan. Kalau cintanya jatuh di tempat yang tepat," sahut Askala. Setelah melempar satu batu kecil ke dalam air, Ia bersuara kembali. "Tapi banyak yang punya rasa takut, jika cinta itu justru jatuh di tempat yang salah. Dan ketakutan itu yang aku rasakan."
"Ya... Tetap saja rumit, bukan?"
Askala menyetujui pernyataan tersebut.
Kali ini, mereka benar-benar kehabisan alasan untuk memiliki perasaan yang utuh. Ada saja bagian rumpang yang belum siap untuk dilengkapi. Masih dibiarkan begitu adanya. Kekuatan yang mereka miliki, rasanya masih belum cukup untuk menyempurnakan pondasi perasaannya masing-masing. Entah waktu atau keajaiban yang akan mengakhiri segudang keraguan itu. Atau justru... Cinta?
"Banda Neira, sudah cukup untuk membuat kita punya banyak cerita yang lepas, Kal."
"Tapi gelombang damai di sudut sana, masih belum cukup untuk membuat kita jatuh cinta, Nan."
~selesai~

Komentar
Posting Komentar